Gagasan bahwa anak-anak dengan autisme tidak dapat merasakan empati adalah kesalahpahaman. Meskipun benar bahwa individu dengan gangguan spektrum autisme (ASD) sering menunjukkan tantangan dalam empati, tantangan ini bernuansa dan bervariasi antar individu. Empati dalam autisme tidak sepenuhnya tidak ada tetapi dapat bermanifestasi secara berbeda, terutama dalam dimensi kognitif dan afektif. Penelitian menunjukkan bahwa sementara empati kognitif, yang melibatkan pemahaman emosi orang lain, sering terganggu, empati afektif, yang melibatkan berbagi emosi orang lain, dapat hadir dalam berbagai tingkat. Kompleksitas ini menunjukkan bahwa empati dalam autisme bukanlah defisit sederhana tetapi pengalaman yang beragam.
Empati Kognitif dan Afektif dalam Autisme
- Empati Kognitif: Studi secara konsisten menunjukkan bahwa individu dengan ASD telah mengurangi empati kognitif, yang merupakan kemampuan untuk memahami dan memprediksi emosi dan pikiran orang lain. Hal ini sering dikaitkan dengan defisit dalam teori pikiran, proses kognitif yang memungkinkan seseorang untuk menghubungkan keadaan mental dengan orang lain (Kimmig et al., 2024) (Schnitzler & Fuchs, 2023).
- Empati Afektif: Bukti tentang empati afektif beragam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa empati afektif kurang terganggu daripada empati kognitif pada individu dengan ASD. Misalnya, anak-anak autis dapat menunjukkan respons afektif yang khas terhadap emosi orang lain, seperti kesusahan atau kegembiraan, meskipun respons ini bisa tidak konsisten (Paz et al., 2024) (Guo et al., 2024).
Empati dan Reaktivitas Emosional
- Reaktivitas Emosional: Reaktivitas emosional, atau intensitas respons emosional, memainkan peran penting dalam empati. Pada individu dengan ASD, reaktivitas emosional yang berubah dapat memediasi gangguan empati, mempengaruhi empati kognitif dan afektif (Kimmig et al., 2024).
- Empati dan Interaksi Sosial: Empati pada anak-anak dengan ASD juga dipengaruhi oleh interaksi sosial dan gejala psikopatologis dini. Kecemasan, misalnya, dapat memoderasi hubungan antara empati dan perilaku prososial, menyoroti interaksi kompleks antara faktor emosional dan sosial (Lasota, 2024).
Persepsi dan Kesalahpahaman
- Efek Informan: Seringkali ada perbedaan antara tingkat empati yang dilaporkan sendiri pada individu autis dan persepsi oleh orang lain, seperti orang tua. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan kesulitan komunikasi dan sifat subjektif penilaian empati (Simantov & Uzefovsky, 2024).
- Masalah Empati Ganda: “Masalah empati ganda” menunjukkan bahwa kesulitan dalam empati tidak sepihak. Individu non-autis mungkin juga berjuang untuk memahami pengalaman emosional individu autis, menunjukkan kesenjangan timbal balik dalam pemahaman empati (Cheang et al., 2024).
Perspektif Neurobiologis dan Fenomenologis
- Dasar Neurobiologis: Empati melibatkan jaringan saraf yang kompleks, dan kelainan pada jaringan ini, terutama di daerah seperti amigdala dan korteks frontal, dikaitkan dengan defisit empati pada ASD (Ramos et al., 2024).
- Analisis Fenomenologis: Dari perspektif fenomenologis, ASD dapat dilihat sebagai gangguan pengalaman interpersonal bersama, di mana proses empatik yang khas diubah tetapi tidak sepenuhnya absi (Schnitzler & Fuchs, 2023).
Sementara stereotip tetap ada bahwa individu autis kurang empati, penelitian dan perspektif terbaru menantang pandangan ini. Konsep hiper-empati, di mana beberapa individu autis mengalami respons empatik yang luar biasa, semakin memperumit narasi tradisional tentang defisit empati pada autisme (Kimber et al., 2023). Ini menyoroti perlunya pemahaman empati yang lebih bernuansa dalam autisme, mengenali keragaman pengalaman empatik di antara individu dengan ASD.