Close-up of a young boy looking sad and emotional, capturing deep feelings.

Apakah Anak Dengan Retardasi Mental Bisa Menikah?

Pertanyaan apakah anak-anak dengan keterbelakangan mental dapat menikah itu rumit dan melibatkan pertimbangan hukum, etika, dan sosial. Berbagai yurisdiksi memiliki pendekatan yang berbeda untuk masalah ini, sering dipengaruhi oleh kerangka budaya, agama, dan hukum. Sementara beberapa sistem hukum memberlakukan pembatasan pernikahan untuk individu dengan cacat mental, yang lain berkembang untuk mengakui hak mereka untuk menikah, asalkan kondisi tertentu terpenuhi. Diskusi melibatkan penyeimbangan hak individu dengan keprihatinan masyarakat dan implikasi potensial bagi individu yang terlibat dan keluarga mereka.

Kerangka Hukum dan Pembatasan

  • Di beberapa yurisdiksi, seperti di bawah Undang-Undang Perkawinan Khusus dan Undang-Undang Perkawinan Hindu di India, ada pembatasan pernikahan orang dengan penyakit mental, yang dapat merugikan individu dan keluarga mereka. Undang-undang ini dipandang membutuhkan reformasi untuk mengatasi hak dan kebutuhan individu dengan disabilitas mental (Sharma et al., 2015).
  • Hukum Spanyol tidak secara otomatis melarang pernikahan untuk individu dengan cacat intelektual tetapi memerlukan mekanisme untuk menilai kapasitas mereka untuk menyetujui. Reformasi terbaru bertujuan untuk meningkatkan kapasitas perkawinan mereka dengan mengizinkan langkah-langkah pendukung untuk memfasilitasi persetujuan, membatasi kebutuhan akan pendapat medis untuk kasus-kasus luar biasa (Azcano, 2018).

Hak Asasi Manusia dan Pertimbangan Etis

  • Undang-undang hak asasi manusia global, seperti yang diuraikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, memberikan individu penyandang cacat hak untuk menikah dan memiliki keluarga. Namun, masalah pernikahan paksa, terutama di komunitas etnis tertentu, menimbulkan kekhawatiran etika. Perkawinan paksa terjadi ketika individu dengan cacat intelektual menikah tanpa persetujuan sah mereka, seringkali karena tekanan budaya atau kesalahpahaman tentang kapasitas mereka (Groce, 2014) (McCarthy et al., 2021).
  • Perspektif Syariah Maqasid dalam hukum Islam menunjukkan bahwa melarang pernikahan bagi individu dengan keterbelakangan mental yang parah berfungsi untuk melindungi hak-hak individu dan publik, mengingat potensi dampak negatif pada keturunan dan tujuan perkawinan (Hikmiyah et al., 2021).

Pengaruh Sosial dan Budaya

  • Keyakinan budaya dan agama secara signifikan mempengaruhi prospek pernikahan individu penyandang cacat. Di beberapa komunitas, pernikahan dipandang sebagai sarana untuk mengamankan perawatan jangka panjang bagi individu dengan cacat intelektual, yang dapat menyebabkan pernikahan paksa (McCarthy et al., 2021).
  • Dalam masyarakat India, pernikahan adalah institusi yang signifikan, tetapi individu penyandang cacat menghadapi tantangan seperti berkurangnya prospek pernikahan dan stigma sosial. Ini menyoroti perlunya intervensi pekerjaan sosial untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka dan mendukung hak mereka untuk menikah (Adhikari, 2020).

Tantangan dan Implikasi

  • Pernikahan yang melibatkan individu dengan tantangan kesehatan mental dapat menyebabkan masalah signifikan, termasuk pengabaian, pelecehan, dan kekerasan keluarga, yang mempengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan semua yang terlibat, terutama anak-anak (Deb, 2020).
  • Prevalensi cacat perkembangan mempengaruhi tingkat pernikahan, dengan individu lebih kecil kemungkinannya untuk menikah dibandingkan dengan populasi umum. Namun, perbedaan budaya dapat mempengaruhi angka ini, seperti yang terlihat pada tingkat pernikahan yang lebih tinggi di antara kelompok etnis tertentu (Beber & Biswas, 2009).

Sementara hak untuk menikah diakui bagi para penyandang cacat, penerapan praktis dari hak ini penuh dengan tantangan. Sistem hukum secara bertahap beradaptasi untuk mengakomodasi kebutuhan individu-individu ini dengan lebih baik, tetapi sikap masyarakat dan praktik budaya terus menimbulkan hambatan yang signifikan. Keseimbangan antara melindungi hak-hak individu dan mengatasi potensi dampak sosial tetap menjadi area penting untuk diskusi dan reformasi yang sedang berlangsung.

Sharma, I., Reddy, K. R., & Kamath, R. M. (2015). Marriage, mental illness and law. Indian Journal of Psychiatry. https://doi.org/10.4103/0019-5545.161502
Azcano, E. M. M. (2018). La aptitud matrimonial de las personas con discapacidad psíquica o intelectual.
Groce, N. (2014). Forced Marriage among Persons with Intellectual Disabilities: Discussion Paper. Social Science Research Network. https://doi.org/10.2139/SSRN.3385385
McCarthy, M., Clawson, R., Patterson, A., Fyson, R., & Khan, L. (2021). Risk of forced marriage amongst people with learning disabilities in the UK: Perspectives of South Asian carers. Journal of Applied Research in Intellectual Disabilities. https://doi.org/10.1111/JAR.12798
Hikmiyah, H. H., Faisol, A., & Sariroh, S. (2021). Implikasi larangan pernikahan tunagrahita berat perspektif maqosid shariah jaser auda. https://doi.org/10.35719/IJL.V1I3.85
Adhikari, A. (2020). Marriage and Persons with Disabilities – Current Trends and Reflections. https://doi.org/10.47175/RISSJ.V1I1.10
Deb, S. (2020). Secret marriage of individuals with mental health challenges : Analyzing legal aspects. https://doi.org/10.4324/9780429324086-13
Beber, E., & Biswas, A. B. (2009). Marriage and family life in people with developmental disability. International Journal of Culture and Mental Health. https://doi.org/10.1080/17447140903205317
Scroll to Top