Hubungan antara gangguan spektrum autisme (ASD) dan alergi makanan telah menjadi subjek yang semakin diminati dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa penelitian telah mengeksplorasi hubungan ini, mengungkapkan prevalensi alergi makanan yang lebih tinggi di antara individu dengan ASD dibandingkan dengan populasi umum. Namun, sifat hubungan ini tetap kompleks dan beragam, melibatkan faktor imunologis, gastrointestinal, dan neurologis potensial.
Prevalensi dan Asosiasi
- Tinjauan sistematis dan meta-analisis menemukan bahwa individu dengan ASD memiliki prevalensi alergi makanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, dengan prevalensi gabungan 13% pada individu ASD versus 5% pada kontrol. Rasio peluang untuk alergi makanan pada individu dengan ASD adalah 2,45, menunjukkan hubungan yang kuat (Wang et al., 2021).
- Meta-analisis lain melaporkan hubungan yang signifikan antara hipersensitivitas makanan dan ASD, dengan rasio odds 2,792. Studi ini juga mencatat bahwa anak perempuan dan anak di bawah 12 tahun dengan hipersensitivitas makanan mungkin lebih rentan terhadap ASD (Li et al., 2021).
- Sebuah studi menggunakan data dari Survei Wawancara Kesehatan Nasional menemukan bahwa anak-anak dengan ASD lebih mungkin memiliki alergi makanan (11,25%) dibandingkan dengan mereka yang tidak ASD (4,25%). Studi ini menyoroti perlunya penyelidikan lebih lanjut ke dalam kausalitas dan mekanisme yang mendasari asosiasi ini (Xu et al., 2018).
Mekanisme Potensial
- Penelitian menunjukkan bahwa alergi makanan dapat berkontribusi pada gejala ASD melalui jalur yang dimediasi kekebalan. Misalnya, sebuah penelitian pada tikus menunjukkan bahwa alergi susu sapi (CMA) dapat menginduksi perilaku seperti autisme, yang berpotensi dimediasi oleh perubahan mikrobiota usus dan jalur pensinyalan mTOR otak (Cao et al., 2022) (“Food Allergy-Induced Autism-Like Behavior is Associated with Gut Microbiota and Brain mTOR Signaling”, 2022).
- Sumbu usus-otak telah diusulkan sebagai mekanisme potensial yang menghubungkan alergi makanan dan ASD. Gangguan pada mikrobiota usus dan respons imun berikutnya dapat mempengaruhi fungsi dan perilaku neurologis pada individu dengan ASD (McDougle, 2018).
Implikasi Klinis
- Tingginya prevalensi alergi makanan pada anak-anak dengan ASD menggarisbawahi pentingnya pendekatan multidisiplin untuk diagnosis dan manajemen. Ini termasuk identifikasi awal reaksi makanan yang merugikan dan intervensi nutrisi yang tepat untuk mengatasi kondisi ASD inti dan terkait (Coppola et al., 2024).
- Meskipun prevalensi alergi makanan yang tinggi pada ASD, intervensi diet saja tidak secara konsisten mengarah pada perbaikan perilaku, menunjukkan perlunya rencana perawatan individual berdasarkan penilaian komprehensif (Oliveira et al., 2024).
Perspektif yang Lebih Luas
Sementara hubungan antara ASD dan alergi makanan terbukti, sangat penting untuk mempertimbangkan konteks kondisi komorbiditas yang lebih luas pada ASD. Misalnya, gangguan pencernaan, alergi pernapasan, dan alergi kulit juga lebih umum pada individu dengan ASD, menunjukkan subtipe gangguan yang dimediasi kekebalan potensial. Ini menyoroti perlunya penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan interaksi kompleks antara fungsi kekebalan, faktor lingkungan, dan kecenderungan genetik dalam ASD (Xu et al., 2018) (McDougle, 2018). Memahami hubungan ini dapat mengarah pada intervensi yang lebih ditargetkan dan hasil yang lebih baik untuk individu dengan ASD.