Anak-anak dengan disleksia, jenis ketidakmampuan belajar tertentu, memang lebih rentan terhadap intimidasi dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak cacat. Kerentanan yang meningkat ini dikaitkan dengan beberapa faktor, termasuk defisit keterampilan sosial, perbedaan yang dirasakan, dan pengaturan pendidikan inklusif yang mungkin tidak cukup memenuhi kebutuhan unik mereka. Penelitian ini menyoroti pola yang konsisten dari peningkatan viktimisasi di antara anak-anak dengan ketidakmampuan belajar, termasuk disleksia, di berbagai penelitian dan konteks. Kerentanan ini diperparah oleh tantangan sosial dan emosional yang dihadapi anak-anak ini, yang dapat memperburuk risiko mereka menjadi sasaran pengganggu. Di bawah ini adalah aspek-aspek kunci yang berkontribusi pada peningkatan kerentanan ini:
Peningkatan Risiko Viktimisasi
- Anak-anak dengan ketidakmampuan belajar, seperti disleksia, melaporkan insiden intimidasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan teman sebayanya tanpa cacat. Hal ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa siswa dengan ketidakmampuan belajar mengalami intimidasi lebih sering dalam pengaturan pendidikan inklusif, di mana mereka sering terintegrasi dengan teman sebaya non-cacat tanpa dukungan yang memadai (Luciano & Savage, 2007) (Carlson et al., 2005).
- Kurangnya faktor pelindung, seperti jaringan teman sebaya yang mendukung dan pengalaman sekolah yang positif, semakin meningkatkan risiko viktimisasi bagi anak-anak ini. Mereka sering memiliki lebih sedikit teman dan kurang populer, membuat mereka lebih rentan terhadap intimidasi (Carlson et al., 2005).
Tantangan Sosial dan Emosional
- Anak-anak disleksia sering menunjukkan konsep diri yang lebih lemah, impulsif, dan kompetensi sosial, yang berkorelasi dengan tingkat viktimisasi intimidasi yang lebih tinggi. Tantangan sosial dan emosional ini menyulitkan mereka untuk membela diri atau mencari bantuan, meningkatkan kerentanan mereka(Carlson et al., 2005).
- Dampak emosional intimidasi pada anak-anak dengan ketidakmampuan belajar sangat mendalam, menyebabkan peningkatan kecemasan, depresi, dan penarikan diri sosial. Tantangan emosional ini dapat memiliki implikasi jangka panjang bagi kesehatan mental dan kinerja akademik mereka (Ziyan & Kadri, 2024) (Mason, 2017).
Implikasi Pendidikan dan Kebijakan
- Meskipun tingginya insiden intimidasi di kalangan siswa penyandang cacat, ada kurangnya penelitian dan fokus kebijakan untuk mengatasi masalah ini. Alat hukum dan kebijakan yang ada kurang dimanfaatkan, dan ada kebutuhan untuk intervensi yang ditargetkan untuk melindungi siswa yang rentan ini (Mason, 2017) (Young et al., 2012).
- Intervensi dan strategi dukungan yang efektif sangat penting untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih aman dan lebih inklusif. Strategi ini harus fokus pada peningkatan keterampilan sosial dan komunikasi di antara siswa penyandang cacat untuk membantu penyangga terhadap intimidasi (Rose & Gage, 2017).
Perspektif Longitudinal dan Masyarakat
- Studi longitudinal menunjukkan bahwa perbedaan dalam tingkat viktimisasi intimidasi antara siswa dengan dan tanpa cacat tetap konsisten dari waktu ke waktu. Ini menunjukkan masalah persisten yang membutuhkan perhatian dan intervensi berkelanjutan (Rose & Gage, 2017).
- Lingkungan sekolah memainkan peran penting dalam mengurangi atau memperburuk pengalaman intimidasi. Sekolah adalah situs di mana ketidaksetaraan sosial dapat direproduksi, menyoroti perlunya pendekatan komprehensif untuk mengatasi intimidasi di antara anak-anak cacat (Chatzitheochari et al., 2016) (Chatzitheochari et al., 2014).
Sementara bukti sangat mendukung peningkatan kerentanan anak-anak dengan disleksia terhadap intimidasi, penting untuk mempertimbangkan konteks intimidasi yang lebih luas di sekolah. Bullying adalah masalah sosial kompleks yang mempengaruhi semua siswa, terlepas dari status kecacatan. Namun, tantangan unik yang dihadapi oleh anak-anak dengan ketidakmampuan belajar memerlukan perhatian khusus dan intervensi yang disesuaikan untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan mereka dalam pengaturan pendidikan. Mengatasi tantangan ini membutuhkan upaya kolaboratif dari pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat untuk menumbuhkan lingkungan yang inklusif dan mendukung bagi semua siswa.